Ternyata dia bernama Rahim, meskipun cewek! Aku baru saja dibuat tersinggung olehnya, dan malu. Bagaimana tidak! Begini ceritanya:
      Aku sedang berdiri tegak, nyaris tanpa gerak, di bawah pohon mangga yang paling utara, di balakang rumah. Sekali-sekali kutengokkan kepalaku ke sembarang arah, mencari kalau-kalau ada buah mangga yang terserak. Itupun kulakukan dengan hati-hati. Barusan ini, telah kusebarkan biji-biji jagung tumbukkan di halaman kebun setempat-setempat, dan sebagian di atas jalan setapak berpaving yang memotong tengah halaman. Ada juga yang kuletakkan diatas tampah, yang kupasang pada cabang pohon mangga, diantara rerimbunan daun-daunnya. Saat itu di rumah sepi, tinggal aku sendiri. Sekonyong-konyong seekor burung Gereja turun dari atas dan mendarat di runway paving setapak, kira-kira enam kaki dari tempatku berdiri. Dia tampaknya tidak menyadari kehadiranku di situ. Namun, teman-temannya yang masih di atas, gaduh bukan kepalang, "Him!! Rahim!! Waspada!!" Seketika itu juga pandangan Rahim menubruk sosokku, dan secepat kilat diapun melesat ke atas, dan bertengger di ranting pohon mangga di atas kepalaku yang dirasakannya paling aman. Aku merasa tersinggung oleh tingkahnya itu, dan benar-benar dibuatnya jengkel. Yang jelas aku tidak pernah berniat jahat sedikit pun terhadap mereka, tidak juga ada keinginan dalam hatiku untuk menangkap mereka. Bahkan sebaliknya, aku akan merasa senang kalau saja dia dan teman-temannya mau beria-ria dengan butir-butir jagung tumbukkan yang sengaja kubelikan dari toko makanan burung, dan kutebarkan untuk mereka sesaat tadi.
      Kebun di belakang rumah, memang sudah menjadi semacam day club burung-burung. Selain burung Gereja, ada beberapa jenis lainnya, Emprit, Kolibri, Prenjak dan Kutilang. Selain biji jagung tumbukkan, juga kuseidakan beberapa buah pisang kapukan yang kugantungkan di pohon mangga bagi burung Kutilang. Sedang kolibri cukup makan madu dari bunga pohon Dadap Merah yang bunganya berlimpah, tidak pernah surut berbunga sepanjang tahun. Jika pada tengah hari, ketika matahari sedang terik, kolibri akan memenuhi pohon Dadap Merah, dengung kepakkan sayap dan kicaunya yang kecil memenuhi udara siang yang pengap dan panas. Kicauannya lebih terdengar seperti cicit yang serak. Sedangkan Prenjak lebih suka serangga-serangga pohon, semut Rang-rang, Kupu, Kejer, dan sejenis Kepik. Karena memang mereka pemakan serangga. Namun, walaupun makanan mereka berbeda, konon Kolibri dan Prenjak dari satu family, mereka tak pernah turun lebih rendah dari 1 meter dari permukaan tanah.
      Selain Rahim, aku mengenal beberapa nama lain. Boleh jadi predikat "gereja" yang disandangkan kepada burung jenis ini lantaran habitat yang paling aman bagi mereka adalah di bangunan-bangunan itu.
      Aku sudah terbiasa memperhatikan makhluk-makhluk ini bersuka ria di halaman kebun belakang rumah. Jumlah mereka lebih dari enampuluh. Ada yang menari-nari sambil menggenggengkan kedua sayapnya. Ada juga yang menggetarkan tubuhnya sambil berputar-putar. Ada yang bergumul-gumulan di udara sambil turun ke tanah. Ada pula yang bermandi-mandi di baskom yang penuh berisi air yang baru kemarin kupasang di dekat pohon jambu, di antara belukar tanaman perdu berbunga pentul, berwarna merah violet. Kicau-kicau mereka gencar tidak berkeputusan sepanjang hari. Dan amat mengasyikkan. Mereka seakan-akan jelamaan dari cahaya sorga, yang menembus keluar melalui celah-celah dindingnya, kemudian menyentuh atmosphere bumi. Mereka tidak mempedulikanku yang sedang duduk di kursi plastik di bawah atap teras belakang rumah. Sungguh sangat menakjubkan. Aku serasa mendengar mereka bersorak "Horree! Inilah kami!"
      Sementara itu, aku masih berdiri tegak, sementara si Rahim masih bertengger pada sebuah ranting di atasku sambil memaling-malingkan kepalanya ke segala penjuru, seakan-akan dia khawatir kalau-kalau aku ikut melesat keatas dan bertengger di sebelahnya. Rasa tersinggung dan malu menguasai diriku. Aku buru-buru protes,
      "Hei, Him! Mengapa engkau terlalu menjijiki diriku! Apakah aku tampak sejahat yang hendak menyergapmu! Jangan begitu dunk! Bersahabatlah sedikit denganku! Tidakkah kau lihat, setiap hari dengan hati senang kutebarkan biji-biji lembut untukmu di seantero kebun ini. Bukankah itu pertanda bahwa aku ingin berbaik-baik dengan kalian semua?"
      "Oh… Maaf! Maaf! Sikap kami terhadapmu dan yang sebangsamu adalah sekedar melakukan wasiat yang paling utama dan paling mula, yang kami terima dari moyang kami terdahulu, bahkan sejak sebelum kalian eksis di bumi kami ini."
      "Ah… Kamu berlebihan, Him!"
      "Tidak! Dengarkan! Kami tahu, sesamaku yang telah kalian tangkap, juga tidak pernah kekurangan beraneka ragam makanan dan santapan lezat!"
      "Oh, jangan kau samaratakan, dunk! Aku tidak yakin bahwa dalam wasiat itu termasuk orang-orang sperti aku."
      "Wasiat itu hanya satu kata, dan sama-sekali tidak menyebutkan dirimu atau yang seumpamamu. Wasiat itu tertulis dengan huruf-huruf yang amat jelas, sejelas cahaya, berwarna merah darah, dan terbaca dari bumi ini, meski tulisan itu terpampang di langit lapis yang ke tujuh sekalipun."
      "Apa gerangan isi wasiat itu?"
      "Hanya satu kata yang kami terima... Waspada!!"
      "Lalu, bagaimana engkau menerima wasiat itu! Bukankah kalian adalah makhluk yang tak berbudaya!"
      "Itulah kerugian yang paling besar, paling dahsyat yang menimpa kalian umat insan, karena tidak akan pernah bisa mengerti atau memahaminya, sampai bumi ini punah sekalipun kelak! Wasiat itu disampaikan kepada kami melalui jalur rahasia yang paling rahasia ke dalam hidup dan kehidupan kami, yaitu Naluri..."
jl cendrawasih no.19, tegal 52131
Nb: foto-fotonya nyusul. jaringan lagi lemot buat upload foto.
Senin, 01 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)